Selasa, 25 Agustus 2009

Memikirkan Miss Universe Semalam
Senin malam (24-8), mata belum mengantuk, dan meniatkan menonton beberapa tayangan televisi. Mengklik channel Indosiar, yang menayangkan langsung grand final Miss Universe. Dilansir koran Senin pagi, putri kita, Putri Indonesia Zivanna Letisha Siregar tak lolos 15 besar. Ehm, sempat kecewa, meski terbersit harapan siapa tahu bisa menyabet award lainnya, Miss Photogenic kek, Miss Congeniality kek, or the best National Costume. Ya, hitung-hitung biar tidak rugilah mengirim kontestan ke Bahama.
Sepanjang acara, dan sebagai pemirsa rasanya kesal banget-nget nonton kontes putri ayu sejagat itu. Memang aku terlambat menyesali, kenapa kita ikut-ikutan mengirim kontestan kesana. Kontes yang katanya mengutamakan brain itu, kok di mataku sekedar adu ayu dan seksi saja. Heran juga, kenapa tahun ini adem ayem saja alias tidak ada yang memprotes supaya Indonesia men-stop mengirim kontestan Miss Universe.
Dari 15 finalis yang terpilih malam itu, tak ada satupun wakil dari Asia. Bahkan Zivanna yang pollingnya masuk 3 besar itupun tak disebut. Padahal aku yakin, pasti adalah satu-dua kontestan asia yang layak masuk final, tentu karena kecerdasannya dan cas-cis-cus bahasa Inggris. Dan benar saja kan, saat 5 besar, finalis yang disodori pertanyaan, pada sibuk menjawab pakai bahasa negaranya sendiri lengkap diterjemahkan sang interpreter ke dalam salah satu bahasa dunia, tentu kecuali miss Australia. Hih memalukan sekali.
Capek banget tuh penerjemahnya ntar, apa-apa omongannya Miss Universe kalau misalnya lagi keliling dunia mesti dialihbahasakan. Huh, nyusahin aja ya.
Memolototi final MU selama 2,5 jam membuat aku merenung dan berpikir. Menjadi duta perdamaian dunia, duta kampanye HIV/AIDS atau apalah misi yang digembar-gemborkan MU, tak perlulah menjadi Miss Universe lebih dulu. Toh banyak juga yang sudah menjadi duta dengan caranya sendiri. Dan justru malah dikenang sampai mati.
Apalagi di kontes itu, ada juga sesi penilaian mengenakan bikini, dan gaun malam. Apa manfaatnya coba. Dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan misalnya duta perdamaian, bla-bla-bla. Memang, dalihnya tidak ada yang salah karena berbikini di pantai. Tapi, mereka juga mengenakan bikini di catwalk panggung, sekali lagi untuk dinilai.
Hihihi, jadi teringat tulisan Cak Nun saat Indonesia mengirimkan Alya Rohali ke MU, waktu itu kalau tidak salah aku masih SMP kelas 2. Entah dimana kliping tulisan Cak Nun waktu itu.
Kupikir-pikir lagi, daripada keluar budget banyak untuk memodali putri Indonesia ke ajang seperti itu, ya mending duitnya disumbangkan tunai ke program yang lebih nyata dan langsung dirasakan manfaatnya.
Buat apa juga ikutan, kalau kita sudah bisa menebak hasilnya, nama wakil Indonesia tak akan dipanggil jadi finalis. Mempromosikan Indonesia? Sudah seabreg cara kok dilakukan supaya banyak turis datang ke negara kita yang indah ini. Ada juga yang tidak mendengar promosi kita, justru malah bisa sampai kesini.
Sayangnya, berita sementara yang dilansir koran ini, tahun depan Yayasan Putri Indonesia masih akan mengirimkan wakilnya lagi. Syarat yang dipatok: tinggi, pintar, berpengetahuan luas, dan fasih berbahasa Inggris.
Sudahlah, kenapa kita masih ngoyo ingin diadu lagi. Cukuplah menjadi putri di negeri sendiri, memelihara kedua sayap cinta yang kita miliki untuk mampu menebarkan damai dan merengkuh mereka yang membutuhkan kita.
Ah, maafkan ini hanya pergulatan dalam otak dan hatiku saja, yang menangkap rasa ketidakadilan semalam.

Catatan ini juga ada di facebook, klik jeniwahyu@yahoo.com