Minggu, 29 Maret 2009

Facebook Oh Facebook, Refleksi Situ Gintung, Senang Lihat Orang Susah, Susah Lihat Orang Senang

Jeni menulis
…Duuh kapan ya, musibah gak menghampiri Indonesia.. Semua memang atas kehendakNya. Seperti sehelai daun yang gak bakal gugur tanpa seizin sang pencipta.

 Headline semua media, termasuk status terkini anggota facebook Indonesia, memberikan perhatian kepada musibah jebolnya Situ Gintung, Ciputat, Tangerang Selatan di Jum’at subuh (27/3). Lokasi menawan yang sebelumnya menjadi salah satu alternatif wisata bahkan lokasi syuting itu dalam hitungan detik berubah menjadi lokasi memilukan dan kuburan masal sementara.
Orang-orang tercinta ada yang terkubur disitu, sebelum akhirnya puluhan ditemukan dan terpisah selamanya dengan anggota keluarga yang selamat. Ratusan lagi belum ditemukan hingga Minggu malam (29/3) ini.

Kita (Aku) hanya bisa membayangkan bagaimana pilunya tertimpa musibah dahsyat itu. Terpisah jiwa raga selamanya dengan orang-orang yang kita kasihi. Padahal menit sebelumnya mungkin kita masih terlelap dalam pelukannya. Ada si kecil yang asyik menyusu sang bunda, ada suami tersayang yang bersiap mengambil air wudlhu shalat shubuh dan membangunkan istri dan anak-anak untuk shalat berjamaah. Ya Allah, terima mereka dengan senyum.

Tapi, entahlah mungkin benar ada ungkapan Senang Melihat Orang Susah, Susah Melihat Orang Senang. Ditengah derita para korban, ada juga yang ulah “simpatisan” yang membuat miris. Seperti ditulis Jawa Pos Minggu (29/3). Ber-title : Jadi Tontonan, Korban Geram. Membaca tubuh berita paragraph per paragraph sungguh membuatku memaki dalam hati. 
Beberapa kutulis isi asli berita yang kumaksud.
 Dihalaman sambungan berita Jawa Pos Minggu (29/3) tertulis Kedatangan banyak orang sama sekali tidak menghibur keluarga korban. Salah satunya dirasakan Suyah, 55, yang berduka karena kehilangan ibu, adik, dan dua keponakannya. “ Kita jadi kayak tontonan, padahal kita sedang berduka, “ kata Suyah lirih.  
“ Padahal, saya mau menguburkan adik saya. Ini seperti bukan tempat bencana, tapi taman rekreasi, “ kata Suyah.
Yang lebih mengenaskan, sejumlah pengunjung memanfaatkan lokasi musibah Situ Gintung untuk berfoto-foto. Pengunjung, baik dari kalangan muda, orang tua, menengah, dan atas berusaha mengabadikan diri dengan latar belakang kerusakan permukiman yang sebetulnya mengenaskan itu. 
Bahkan ada juga yang sengaja datang untuk mendapat gambar latar belakang foto yang akan dimuat di situs pertemanan facebook. Salah satunya Iqbal, seorang karyawan, 29. “ Selain mau lihat lokasi, saya juga mau foto-foto buat dokumentasi pribadi. Kemungkinan mau saya taruh di facebook, ujar pria yang berdomisili di Ciputat, Tangerang.
 
Masih di berita utama sambungan Jawa Pos Minggu (29/3), ada lagi yang tak kalah “dahsyat” komentarnya. Seperti pengakuan seorang ibu bernama Neni Haryati. Dia mengaku tidak mencari anggota keluarganya yang mungkin jadi korban. Bersama anak dan suami, Neni bilang penasaran dengan berita dari sebuah media yang menyebut bencana Situ Gintung sedahsyat tsunami Aceh. Bagaimana kesannya setelah melihat langsung? “ Keren banget kayak tsunami,” kata Neni.
 
Tega banget ya, masih bisa menikmati musibah itu. Gak peka dengan penderitaan orang lain! Mentang-mentang tidak mengalami musibah!
Sebenarnya cukuplah mereka yang berkepentingan berada di sekitar lokasi bencana itu. Seperti para pewarta berita, fotografer, kameraman, tim SAR dan relawan lain yang bekerja, kalau memang niat datang hanya untuk menikmati penderitaan korban. Bukannya malah berjubel-jubel di sekitar lokasi, menonton orang bekerja mencari jenazah, senyam-senyum sambil berponsel mengabari keluarga saat disyut live kamera tv. Inilah salah satu perilaku “hina” kita dan benarlah ungkapan yang pernah aku baca itu, Senang melihat Orang Susah, Susah Melihat Orang Senang. Semoga kita tidak termasuk di dalamnya.

Kembali mengutip isi berita utama Jawa Pos Minggu (29/3), warga yang berduyun-duyun melihat bencana, menurut ahli hokum lingkungan Dr. Suparto Wijoyo, merupakan bentuk euphoria masyarakat terhadap kejadian dramatis. Pengamat sosial dari Universitas Airlangga itu menilai warga ingin menjadi bagian dari sebuah kejadian yang dicitrakan secara terus menerus oleh televisi dan media lain. “ Jadi, seolah-olah bencana itu jadi tujuan wisata,” ujarnya. Padahal, sebenarnya, tragedi Situ Gintung merupakan kejahatan pemerintahan. “ Karena dicitrakan secara langsung dan terus menerus, muncul kesan bahwa berada di lokasi bencana itu heroik, hebat, mengikuti perkembangan. Rakyat jadi lupa penyebab utama tragedi itu,” ujarnya. 

Aku juga sepakat dengan pernyataan Suparto yang mendesak penyelidikan terhadap jebolnya Situ Gintung. Menurutnya, itu bukan bencana tanpa sanksi hukum. Karena menurut UU No.26 tahun 2007 hal itu merupakan kejahatan tata ruang.

Suparto juga mengatakan, masyarakat yang sekedar menonton di lokasi juga tidak bisa disalahkan. Dia bilang, secara etis, memang kurang tepat karena banyak yang berduka sementara mereka hanya berfoto-foto. Tapi, bisa juga diambil sisi lain bahwa ada peningkatan kesadaran sosial masyarakat terhadap suatu peristiwa.

Kalo dipikir-pikir dan benar juga kata suamiku saat diskusi kecil sambil nge-teh sore tadi. Media mungkin terlalu berlebihan dalam memberitakan suatu kejadian. Bagaimana tidak berlebihan, karena lokasi musibah di Ibukota, ikon Indonesia. Dan semua peristiwa di ibukota, adalah berita yang wajib diberitakan. “ Coba kalo kejadian seperti itu di daerah lain, seperti di Papua, apakah juga diberitakan ramai seperti Situ Gintung,” celetuknya.

-Kukembalikan hal ini kepada hati nurani- 

Tulisan ini juga ada di Facebook Jeni.

Rabu, 25 Maret 2009

Smart Shopping Miss Jinjing, Belanja Sampai Mati

Belanja….catatan pertamaku rupanya harus aku edit lagi. Hehehe, rasanya belum puas aja kalo ada beberapa hal yang tertinggal.

Amelia Masniari memang gemulai menuangkan seluruh pengalamannya berbelanja ke dalam bukunya. Ya, barangkali ada seratus ribu orang di Indonesia atau bahkan lebih yang dianugerahi Tuhan dengan materi yang cukup sehingga bisa menjejak kaki ke berbagai belahan dunia untuk jalan-jalan dan berbelanja . Tapi, yang bisa membagi dengan baik cerita termasuk pengalaman yang miliki, mungkin baru Amelia. 

Sebelum aku tulis catatan kedua ini, aku sempat baca komen teman sisterku tentang yang aku tulis. Dia tanya apa di buku Miss Jinjing, Belanja Sampai Mati itu tertulis pula cara ngerem hobi belanja. Hehehe, namanya hobi, pasti susah ya dihilangin. Apalagi hobi menyenangkan seperti belanja itu. Meski gak jarang, kelar belanja kita baru nyadar kalo isi dompet udah jebol, hiks-hik-hiks. But, jangan khawatir, hobi asyik itu masih tetap masih bisa lanjut kok. Ya, asalkan kita belanja dengan smart, seperti message Amy-sapaan Amelia di bukunya.

Oww iya, mulanya aku juga penasaran dengan profil Mbak Amy . Bayangkan aja, dia rela ngabisin duit puluhan juta n more tiap kali shopping untuk memborong branded items . Apa gak marah tuh suaminya, pikirku. Biar gak penasaran, aku jahil nanya hal itu ke Mbak Amy via email. Dan tahukah, jawabannya? Dia bilang buat hobinya itu dia gak pernah pake duit suaminya. Dia pake hasil keringat sendiri. Work Hard, Spend Hard, kata si Mbak. 

Di buku bercover deretan tas belanja itu, banyak pengetahuan umum yang bisa kita ambil. Misalnya nih, ternyata Indonesia juga punya lho produk-produk oke yang gak kalah ama items bermerk dari luar negeri. Labelnya Bagteria yang merupakan produk Indonesia. 

Ada lagi nih, produk alas kaki Nilou, disebut pula di buku Miss Jinjing. Mungkin sudah banyak yang tau, label Nilou yang designernya dari Bali ini juga udah menembus mancanegara. Aku pernah ketemu langsung ma Ni Luh (nama lengkapnya aku lupa) pemilik Nilou saat dia pameran di Bali Fashion Week 2007 lalu di Discovery Kartika Plaza Hotel-Kuta, Bali. Karyanya keren-keren loh!. Makanya banyak yang gandrung, misalnya aja pasar Australia, dan sejumlah negara lainnya. Selain bikin alas kaki, dia juga bikin tas, ikat pinggang, clutch bag yang gak kalah keren. 

Oke, selamat berbelanja and keep smart shopping. 




 

Selasa, 24 Maret 2009

Hobi Shopping? Kurang komplet deh kalo belum baca Miss Jinjing, Belanja Sampai Mati



Denpasar, 24 Maret 2009 Jeni  menulis

Shopping, ehm jadi aktifitas menyenangkan bagi banyak penggemarnya. Dari yang belanja serius (belanja beneran) ampe ikutannya, seperti window shopping.

Stres karena kerjaan, konon bisa terganti setelah kita bawa stress itu ke mall, butik, or lokasi belanja lainnya. 

Buat yang suka shopping, pasti rela banget keluar masuk mall. Meski ujung-ujungnya, tas belanjaan kita cuma isi sepotong t-shirt, hhahaha yang pasti puas doong!.

Gak jauh-jauh sih, kayak aku ini di zaman kuliah dulu. Pernah, karena capek urusan kuliah, aku coba jjs. Ngilangin suntuk maksudnya. Kebetulan karena aku kul-nya di Jogya, (lokasi belanjanya lupa) aku keliling di 3 tempat sekaligus dengan modal dengkul alias jalan kaki. Kebayang kan, aku jalan kaki sepanjang Malioboro. Dari ujung ke –ujung, n balik lagi ke ujung. 
Tapi kalo sekarang, disuruh gitu lagi, hehehe kayaknya nggak banget deh!. 

Belanja di luar negeri? Siapa sih yang gak pengen. Bayangin aja kita jalan di Milan-Italia, Paris, New York, Tiongkok or Singapura. Keluar masuk tempat-tempat belanja yang oke. Memang dompet tebel sekaligus kartu kredit, setidaknya udah bisa bikin kita aman dan nyaman shopping. Tapi apa iya? Salah satu problemnya, kalo kita gak expert belanja di LN, bisa-bisa yang kita dapat cuma kecewa. Penyebabnya diantaranya nih, kita gak tau tempat alias kesasar. Nah, kalo ngincar barang bermerk, gak tertututup kemungkinan malah barang aspal yang kita beli. Rugi khan?

So, buat yang pengen nambah pengalaman asyiknya belanja dalam n mancanegara, coba deh baca Miss Jinjing, Belanja Sampai Mati yang ditulis Amelia Masniari.

Bukunya aku labelin bintang 5 deh. Karena pengalaman pribadinya sendiri, tulisannya mengalir lancar dan enak dibaca. Malah dibaca berulangkali pun, tetep gak bikin bosen. Banyak ilmu yang bisa ambil. Seperti aku nih yang belum pernah jalan ke LN, someday ilmu di buku bersampul orange itu aku praktekin kalo ada kesempatan terbang belanja kesana. Tips lainnya juga usefull. Jadi, gak rugi kok kalo buku setebal 192 halaman itu kita koleksi, buat yang belum punya dan tertarik, of course!.

Mungkin buat yang udah baca buku itu, sebagian ada yang ngerasa kalo si penulis pamer. Tapi buat aku, gak ada kesan pamer-pamernya kok. Yang ada, dia bagi ilmu dan pengalaman yang dia miliki. 

Awalnya aku tau ada buku itu, saat baca Nyata. Di tabloid yang terbit tiap hari senin itu ditulis profil lengkap Amelia dan buku barunya itu. Sebelum terbit buku, dia sebelumnya udah nulis-nulis diblog. Penggemar blognya pun buanyaak banget. Hehehe, justru aku yang telat gak liat dulu blognya. Tertarik ma isi lengkap bukunya itu, saat jalan ke toko ma suami aku beli deh tuh buku. Serunya, aku juga ngomporin suami untuk ikutan baca. Dan berhasil! Suamiku tergelitik ikut baca. Dia juga comment, kalo buku Miss Jinjing bagus. Bukan maksudku promo sih, secara aku juga gak kenal ma penulisnya. Tapi apa salahnya menambah pahala dengan berbagi info dan merekomendasikan ilmu. Agree?  
Ow iya, mbak Amelia Masniari juga welcome banget ma komentar yang masuk di emailnya. Kelar baca Miss Jinjing, aku ngimel si-mbak penulis. Wah cepet banget loh dia ngebalesnya. Padahal aku yakin, inbox emailnya gak hanya dari aku.  

Any comment